Resign Demi Masa Depan, Tapi Malah Ditinggal: Cerita Tentang Kecewa, Bangkit, dan Memaafkan Diri
"Aku nggak pengen kamu keluar dari sini malah luntang-lantung di kantor baru, terus karirnya nggak jelas. Jadi make sure kamu oke sama semuanya yang di sana ya, Ca." Kalimat itu selalu terulang di kepala saya. Dikatakan oleh atasan saya di kantor lama, sebut saja Mas G, saat saya pamit resign dari perusahaan fintech tempat saya bekerja waktu itu.
"Aku nggak pengen kamu keluar dari sini malah luntang-lantung di kantor baru, terus karirnya nggak jelas. Jadi make sure kamu oke sama semuanya yang di sana ya, Ca." Kalimat itu selalu terulang di kepala saya. Dikatakan oleh atasan saya di kantor lama, sebut saja Mas G, saat saya pamit resign dari perusahaan fintech tempat saya bekerja waktu itu.
Waktu itu saya pikir, semua sudah saya siapkan matang. Saya riset soal perusahaan baru, tanya ke kenalan, cari tahu dari "teman dari temannya temen" tentang lingkungan kerja dan budaya perusahaannya. Bahkan karena saya direkrut melalui pihak outsource, saya juga riset soal perusahaan outsource-nya. Semua terlihat aman. Nggak ada satu pun hal buruk yang saya temukan.
Saya tahu perusahaan lama sedang freeze hire selama setahun, jadi kalau saya keluar dari kantor lama, itu berarti nggak bisa balik. Dan saya siap.
Saya terima offering itu. Saya pamit baik-baik. Saya jalani masa satu bulan notice dengan bertanggung jawab: handover, beresin semua task, bahkan sempat traktir martabak buat perpisahan kecil.
Hari Terakhir yang Harusnya Jadi Awal Baru
Hari itu saya benar-benar menyiapkan semuanya. Saya finalisasi semua task yang tersisa, ngobrol dengan teman-teman, bahkan sempat beli 6 martabak dari Martabak Djuara buat kado perpisahan. Kami makan bareng di pantry sambil bercanda dan saling mendoakan. Rasanya hangat dan sedih dalam waktu yang bersamaan.
Hari terakhir saya di kantor lama, saya chat calon atasan saya di kantor baru, sesuai arahan HR dari outsource. Waktu itu sekitar jam 10.30 pagi. Saya pikir, jam segitu pas lah ya, nggak kepagian, nggak kesorean.
“Selamat siang, Pak. Saya Salsa, karyawan dari XXX yang ditempatkan untuk posisi Product Manager di XYZ dan akan mulai masuk besok di tanggal 8 April 2025, Pak. Saya diarahkan oleh Mbak V untuk menghubungi Bapak. Terima kasih sebelumnya, Pak. 🙏🏻”
Tapi... nggak ada balasan.
Saya tunggu sampai sore. Tetap tidak ada kabar, tidak ada notifikasi atau balasan apa pun dari nomor tersebut. Saya mulai khawatir. Besok saya harus ketemu beliau di mana?
Akhirnya saya follow up ke HR outsource. Katanya masih sesuai rencana, hanya saja beliau sedang cuti. Oke, saya percaya.
Sore itu, selepas perpisahan kecil di kantor lama, saya sempatkan diri mampir ke sebuah kedai ramen langganan untuk makan malam. Saya makan ramen sambil lihat-lihat foto perpisahan yang tadi saya ambil di kantor. Perasaan saya mulai campur aduk. Tiba-tiba, masuklah satu notifikasi yang bikin saya membesarkan mata:
“Malam mba Salsa, maaf baru bales, mba. Oia mba, ini maaf baru bales. Setahu saya ini terpending deh, mba, karena peraturan SK baru, approval hire sampai BOD. Besok saya follow up lagi full approvenya ya mba. Jadi menunggu dulu untuk tanggal join-nya mba Salsa.”
Saya bengong. Diam. Rasanya kayak ditampar.. Besok saya follow up lagi untuk full approvenya ya. Jadi menunggu dulu untuk tanggal join-nya.”
Dari Yakin Jadi Bingung
Saya langsung hubungi HR outsource. Saya tanya maksudnya apa. Gaji bulan ini gimana. Status saya sekarang gimana.
Malam itu... semua panik. Saya nanya lagi soal status saya, penggajian saya bulan ini gimana, dan kenapa informasi sepenting ini baru muncul H-1 kerja, dan lebih parahnya, informasi ini saya terima di malam hari, yang kalau dihitung, itu sudah di bawah 24 jam sebelum hari pertama kerja. Bahkan saking paniknya, si HR sempat nyeletuk:
“Mbak, kalau balik ke perusahaan sebelumnya masih bisa nggak ya?”
Saya makin panik. Jelas-jelas saya udah pamit. Udah nggak bisa balik.
Malam itu juga saya telponan lebih dari sejam sama tim rekrutmen outsource. Mereka bilang, ini cuma soal pengunduran waktu masuk. Karena butuh waktu buat birokrasi dan approval.
Oke, saya coba terima.
Menunggu yang Nggak Pasti
Hari-hari berikutnya saya kerjaannya cuma ngechat HR. Tanya update. Tanya perkembangan. Bahkan saya sampai bilang:
"I really appreciate any kind of updates."
Tepat dua minggu dari tanggal seharusnya saya mulai kerja, saya baru dikasih kerjaan sama tim outsource. Saya sempat diajak meeting dengan CTO dari perusahaan outsource tersebut dan akhirnya dikasih project untuk bikin research report tentang satu aplikasi provider telco yang cukup besar di Indonesia. Katanya, kasihan juga kalau saya nggak ngerjain apa-apa.
Saya kerjain semaksimal mungkin. Tapi di sisi lain, saya juga harus hadapi kondisi fisik yang makin menurun. Saya jadi nggak nafsu makan, dan kalau makan pun buru-buru pengen cepat selesai. Habis itu sesak napas, sampai akhirnya sering diare dan muntah-muntah. Saya sempat mikir, ini bukan cuma stres biasa. Saya lalu cerita ke teman saya yang ngerti psikologi, dan dia bilang kemungkinan besar saya sedang mengalami gangguan kecemasan.
Jawaban yang Akhirnya Datang
8 Mei. Tepat satu bulan setelah saya seharusnya mulai kerja di kantor baru.
Saya dipanggil ke kantor outsource. Ketemu tim rekrutmen. Dan mereka kasih tahu:
“Mbak, penempatan di perusahaan XYZ sudah 100% valid itu di-cancel. Jadi untuk sementara, Mbak akan diperbantukan di project internal dulu.”
Boom.
Di sana saya tidak lagi merasa sedih, lebih ke... sedihnya sudah habis. Hari demi hari saya berdoa untuk bisa mendengar hasil finalnya. Akhirnya hari itu keluar. Walaupun beritanya tidak saya inginkan, tapi setidaknya saya sudah tahu dan itu membuat saya lega. Mungkin jika kita bicara tentang level dalam melewati suatu masalah, saya sudah berada di level acceptance, atau penerimaan. Jadi tidak lagi ada emosi menggebu atau perasaan lain yang meledak-ledak, yang tersisa hanyalah menerima keadaan.
Ucapan Mas G kembali terngiang. Rasanya... nyesek.
Saya nggak malu cerita ini. Tapi saya sedih. Sedih karena kantor lama begitu menghargai saya, tapi kantor baru malah seperti mempermainkan saya. Masalah kerja ini bagi saya sudah seperti hidup dan mati. Kok bisa ada perusahaan yang tega merekrut tanpa pertimbangan matang dan mematikan rezeki seseorang. Terkadang saya masih berpikir seperti itu.
Saya simpan cerita ini dari kantor lama. Saya nggak mau bikin mereka kecewa, karena mereka bahkan berat banget melepas saya. Tapi dalam hati... saya pengen banget cerita. Saya pengen bilang bahwa ternyata saya belum benar-benar dapat tempat baru. Bahwa saya sedang terlunta-lunta. Saya juga tidak ingin merasa dikasihani, dan saat itu saya hanya ingin fokus menyelesaikan masalah ini terlebih dahulu.
Mulai Lagi dari Nol
Setelah itu saya bangkit. Saya lamar semua lowongan yang ada. Saya revisi CV. Saya update website portfolio. Saya belajar coding, analisis data.
Saya reach out kenalan lama. Saya kirim pesan ke recruiter di LinkedIn. Saya bikin konten. Saya lakukan semuanya.
Banyak yang kasih tawaran di bawah gaji lama. Tapi saya tetap ambil prosesnya. Karena saya cuma anak rantau yang harus bertahan hidup di Jakarta. Saya butuh pemasukan tiap bulan untuk tetap bisa lanjut.
Dan akhirnya... di bulan Mei, ada satu perusahaan yang cocok. Saya interview, cocok, dan sekarang, alhamdulillah, saya sudah bekerja di sana. Masih di role yang sama, bahkan di industri yang lebih align dengan background saya.
Penutup
Dari pengalaman ini saya belajar:
Kadang kita udah usaha sekeras mungkin buat pastikan semua aman. Tapi tetap aja, ada hal di luar kendali kita.
Dan ketika itu terjadi, boleh kok merasa gagal. Boleh banget merasa hancur. Tapi jangan terlalu lama di sana.
Bangkit bisa dimulai dari hal-hal kecil. Kayak buka ulang laptop yang sempat ditinggal. Bikin satu postingan di LinkedIn. Edit ulang CV. Coba daftar satu lowongan meski ragu. Atau sekadar ngobrol dengan teman, nulis di notes, atau nyalain ulang motivasi lewat video yang bikin semangat.
Kalau kamu lagi di posisi yang sama, kamu nggak sendiri. Pelan-pelan aja. Satu langkah kecil tiap hari. Dan semoga suatu hari nanti, kamu juga bisa lihat ke belakang dan bilang: "Aku berhasil lewat masa itu."
Semangat, ya.